Mengapa
harus membingkai cerita pendek dengan warna lokal? Sebelum menjawab itu kita pahami
terlebih dahulu batasan lokal dalam bingkai cerita pendek. Lokal yang dimaksud
bersinonim dengan setting cerita. Setting bisa mengambil tempat cerita, tokoh,
kebiasaan/tradisi masyarakat tempatan, dialek, dll.
Riau
dengan budaya Melayunya, menyajikan berbagai pernak-pernik unsur lokalitas yang
dapat dijadikan sumber ilham menghasilkan karya sastra. Tradisi Melayu yang
unik (numbai, badewo, babalian, belian, lukah gilo, pacu jalur, bela bokor dll)
dapat diangkat sebagai karya lokal yang kental. Dialek Melayu yang khas mampu
memperunik dialog dalam cerita. Lokasi dengan nama-nama yang khas akan menjadi
setting lokasi yang kuat.
Dengan
mengambil warna lokal dalam cerita pendek kita membuat karya yang kita hasilkan
akan terasa “beda” dengan karya yang dihasilkan oleh pengarang yang mengambil
warna universal. Namun untuk menghasilkan karya berwarna lokal yang baik perlu
memperhatikan rambu-rambu dalam mengolah unsur-unsur lokal ke dalam cerita.
Rambu-rambu yang dimaksud lebih kurang sama dengan langkah-langkah membuat
cerita pendek.
1.
Kuasai dari ujung rambut sampai ujung
kaki setting yang ingin kita angkat. Untuk menguasai itu dapat dilakukan dengan
kajian referensi, datang ke lokasi, wawancara tokoh real, menguasai dialek.
2.
Perdetil karya yang kita tulis dengan
pernik-pernik lokal yang kuat. Endap dahulu karya yang telah selesai. Dengan
mengendap karya yang kita buat maka akan terpikirkan detil-detil yang
kemungkinan muncul untuk memperkaya karya kita.
3.
Selalu memperkaya referensi cerita
pendek yang memiliki warna lokal agar karya kita semakin berwarna.
Selamat
menulis …
Oleh:
Bambang Kariyawan Ys.
Ketua
Kajian Sastra dan Budaya Melayu
FLP
Wilayah Riau
Tidak ada komentar