A.
Hilangnya Sebuah Karakter
Simaklah pemberitaan media massa di negeri ini. Kecenderungan yang muncul
selalu berita-berita buruk yang mewarnai pemberitaan media massa tersebut. Kerusuhan, ketegangan, tawuran, perang antar
kampung menjadi realita sosial yang tidak bisa dipungkiri telah hadir di tengah
masyarakat. Seolah tidak pernah terselesaikan. Sudah hilangkah julukan kita
sebagai bangsa yang ramah?
Dalam lingkup yang lebih kecil, dunia pendidikan merupakan laboratorium
yang seharusnya menghasilkan beragam produk manusia yang diharapkan sejalan
dengan tujuan pendidikan nasional untuk mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Namun apakah tujuan yang mulia itu telah membentuk dalam
diri peserta didik dan pendidikan telah berperan memecahkan permasalahan-permasalahan
yang tengah terjadi di masyarakat?
Kenyataan di lapangan pendidikan menunjukkan kondisi peserta didik di era
pragmatis saat ini, guru harus bergelut dengan harapan yang tinggi untuk
membentuk peserta didik menjadi generasi yang berkarakter. Padahal kondisi peserta
didik sekarang jelas berbeda dengan kondisi beberapa periode waktu yang lalu.
Penghargaan terhadap guru yang memudar, mudahnya berkata kasar, mudahnya
terpicu untuk berkonflik, membentuk kelompok-kelompok eksklusif, dan
bersitegang bila menemukan perbedaan sebagai contoh di antara berderet perilaku
yang sangat mengkhawatirkan kelanjutan dunia pendidikan.
Terlepas dari berbagai polemik tentang tidak jelasnya arah pendidikan kita
dan kondisi perilaku memprihatinkan, penulis berkeyakinan bahwa masih banyak
insan-insan pendidik di negeri ini yang tidak rela bila dikatakan pendidikan di
negeri ini tidak jelas arahnya dan tetap peduli untuk memecahkan permasalahan
yang ada. Masih banyak guru-guru yang selalu punya keyakinan untuk membangun
masa depan bangsa ini. Keyakinan itu akan terwujud dengan hadirnya kelas yang
penuh dengan nuansa persemaian nilai-nilai karakter. Langkah bijak yang harus
segera diambil adalah dengan mencari akar permasalahan yang menyebabkan
hilangnya karakter bangsa di dalam diri peserta didik sekarang.
B. Mencari Akar Permasalahan
Perilaku-perilaku mengkhawatirkan
peserta didik saat ini dalam teori budaya dapat dikelompokkan dalam perilaku-perilaku
berupa stereotipe, etnosentrisme, dan
primordialisme. Perilaku-perilaku tersebut dapat dikatakan sebagai sumber
konflik dari berbagai permasalahan sosial di dalam masyarakat. Perilaku stereotipe (prasangka),
etnosentrisme (menilai dengan ukuran budaya sendiri), dan primordialisme (mengunggulkan
daerah asal) sering berdampak dalam proses pembelajaran yang akan mengganggu kestabilan dan keutuhan berinteraksi
siswa dalam proses belajar. Perilaku-perilaku mengedepankan prasangka,
mengunggulkan budaya dan
daerah sendiri dapat dilihat dalam proses pembelajaran berupa penggunaan bahasa
ibu, simbol-simbol budaya, dan berkelompok dengan alasan pemilihan karena sesama suku atau latar belakang
sosial budaya. Kondisi-kondisi tersebut jelas akan sangat
mengganggu interaksi dalam proses belajar mengajar sebagai penanaman
benih-benih konflik. Bila kondisi ini dibiarkan maka akan terbawa terus ke
dalam pembiasaan anak didik di dalam masyarakat.
Perilaku-perilaku tersebut muncul sebagai konsekuensi dari kebhinnekaan atau keragaman bangsa Indonesia. Keadaan ini dapat dilihat dari sosio kultur maupun
geografis yang begitu luas dan beragam dalam suku, agama, ras dan budaya.
Syamsul (2005:31) mengungkapkan bahwa keragaman bangsa Indonesia bukanlah realitas yang baru terbentuk.
Keragaman
bangsa ini merupakan
realitas sejarah yang sudah berlangsung lama di negeri ini. Keragaman tersebut
diakui atau tidak, akan dapat menimbulkan berbagai persoalan yang sekarang
dihadapi bangsa ini. Seperti korupsi, kolusi, nepotisme, premanisme,
perseteruan politik, kemiskinan, kekerasan, separatisme, perusakan lingkungan
dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu menghargai hak-hak orang lain
adalah bentuk nyata dari kebhinnekaan itu.
Di sisi lain, Samsu (2008:1) melihat realitas kebhinnekaan tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk
merekonstruksi kembali kebudayaan nasional Indonesia yang dapat menjadi integrating force (kekuatan ingin
bersatu) yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut. Untuk
membangun integrating force tersebut
salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan pendekatan pemahaman
atas kebhinnekaan sebagai sarana membangun toleransi atas keragaman.
Pertentangan suku, agama, ras, dan antar golongan yang terjadi di negeri ini mengajarkan betapa pentingnya
pendidikan
kebhinnekaan bagi masyarakat.
Pembelajaran kebhinnekaan merupakan suatu rangkaian kepercayaan dan penjelasan yang mengakui dan
menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk gaya hidup,
pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan pendidikan dari individu,
kelompok maupun negara. Di dalam pengertian ini terdapat adanya pengakuan yang
menilai pentingnya aspek keragaman budaya dalam membentuk perilaku manusia.
Wacana
pembelajaran kebhinnekaan dalam proses pembelajaran di Indonesia sejalan dengan kebijakan pemerintah
yang tertuang dalam perjalanan kurikulum pendidikan di Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab III Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan
Pasal 4 ayat 1 menyebutkan: “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”.
Pendidikan
sebagai hak asasi manusia, termasuk didalamnya hak peserta didik yang memungkinkan
setiap anak mengakses sebanyak-banyaknya hak-hak mereka sepanjang hidupnya.
Pendidikan berperan penting mewujudkan tujuan pembelajarannya agar peserta
didik peka terhadap masalah yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental
positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi dan melatih
keterampilan untuk mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang
menimpa diri sendiri atau masyarakat sekitar.
Dalam pelaksanaan pembelajaran di dalam kelas perlu disusun pembelajaran
dengan menggunakan pendekatan pendidikan kebhinnekaan yang lebih terstruktur. Salah satunya dengan menggunakan
pembelajaran dengan sentuhan humanis dan berbhinneka dalam
kelas pelangi.
C. Ada Apa dengan Kelas Pelangi?
Kelas pelangi hanya
merupakan istilah untuk menyebut sebagai kelas yang mampu menghimpun beragam perbedaan
peserta didik. Sebuah kelas seharusnya memberikan kenyamanan bagi peserta didik
yang hadir di dalamnya. Kenyamanan peserta didik menghirup aroma keilmuan dan
setiap unsur yang menjadi penghias kelas. Prinsip equality/persamaan harus dijunjung tinggi. Kelas merupakan hak
penuh peserta didik sedangkan guru berkewajiban menyajikan hidangan pilihan
menu yang menyenangkan. Perlakuan diskriminasi harus dihindarkan sejauh
mungkin. Nuansa kebhinnekaan dikedepankan dengan mengakomodir beragam perbedaan
gender, suku, agama, dan latar belakang sosial lainnya. James A. Banks
mengungkapkan bahwa pendidikan ibarat people
of colour. Artinya pendidikan mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan.
Setiap
tindakan pendidikan termasuk dalam lingkungan keluarga untuk perkembangan
kepribadian peserta didik secara harmonis dan utuh, memerlukan suatu lingkungan
kependidikan yang diselimuti dengan suasana penuh kebahagiaan, cinta dan
pemahaman serta dalam semangat perdamaian, martabat, toleran, kebebasan,
persamaan dan kesetiakawanan dan didasarkan pada semangat cita-citakan.
Kelas pelangi akan
hadir bila guru kreatif ada di dalamnya. Guru kreatif dalam kelas pelangi
memiliki kesadaran kebhinnekaan di dalamnya. Kesadaran yang dibangun dengan
menyadari setiap peserta didik unik dan memiliki kecerdasan beragam. Guru
kreatif harus jeli memanfaatkan multikecerdasan seperti yang diungkapkan oleh Gardner
untuk memetakan kecerdasan dan kemampuan peserta didik.
Dari hasil pemetaan tersebut,
guru dalam kelas pelangi bisa menentukan strategi untuk memberikan perlakuan
yang tepat pada peserta didik. Walaupun belum mampu melakukan yang ideal,
minimal perlakuan yang diberikan mengakomodir beragam perbedaan tersebut.
Banyak cara bagi seorang guru untuk menghidupkan kelas agar lebih bernyawa.
Salah satu kuncinya adalah mau membaca buku-buku hebat tentang mengelola kelas
yang telah banyak direkomendasikan. Buku-buku tersebut dianggap sebagai buku
ajaib yang dapat menyulap kelas kita sebagai kelas yang hidup. Mulai dari
Quantum Teaching dan Quantum Learning yang sangat fenomenal sampai dengan karya
dalam negeri Hernowo dengan beragam karya-karya pencerahan dalam mengelola
sekolah.
Edgar Morin (2006) dalam
St. Kartono (2009) menganggap bahwa kelas dalam hal ini kelas pelangi harus
menjadi sebuah tempat untuk peserta didik belajar tentang aturan-aturan debat
atau diskusi yang sportif. Sekolah menjadi laboratorium kehidupan demokratis
secara praktis dan konkret. Di sana mesti ditumbuhkan kesadaran akan
kebutuhan-kebutuhan dan prosedur untuk memahami pikiran orang lain, mendengar,
dan menghormati suara minoritas dan suara-suara yang berbeda. Belajar memahami
sesama haruslah menjadi anasir utama dalam belajar demokrasi. Menghargai pihak
lain adalah kata kunci demokrasi.
Dalam kelas pelangi
anak-anak kita boleh ”berkelahi” adu pikiran. Yang bisa dilakukan guru adalah
menggerakkan hati mereka untuk terbuka dan menghormati keberadaan pihak lain.
Kelas pelangi harus mampu melayani diversity
peserta didik. Setiap peserta didik mempunyai hak dan perlakuan yang sama,
tetapi setiap peserta didik juga mendapat perhatian secara pluralis, artinya
yang kurang mampu lebih terperhatikan. Yang tidak kalah pentingnya adalah
membantu peserta didik untuk saling menghargai kekhasan budaya masing-masing,
mempelajari adat berbagai suku, dan menghargai pendapat atau gagasan orang lain
yang berbeda.
D.
Mengajar
dengan Sentuhan Humanis dan Berbhinneka dalam Kelas Pelangi
Kelas pelangi yang
menghimpun beragam latar belakang sosial dan budaya peserta didik memerlukan
kehadiran seorang guru yang berkemampuan mengelola keragaman tersebut. Guru
berkarakter hadir dengan kemampuan mengkristalkan nilai-nilai karakter bangsa
dalam dirinya melalui proses pembiasaan. Seorang guru yang berkarakter dengan
sikap humanisnya dituntut keahliannya mengatur irama kelas dengan nuansa
berbhinneka. Sikap humanis sebagai sikap menghargai dan menempatkan seorang
peserta didik sebagai seorang yang harus beri harga tak ternilai. Setiap siswa
memiliki hak dan perlakuan yang sama serta mendapat kesempatan yang sama untuk
menikmati pendidikan. Perilaku berbhinneka dapat diasah dengan selalu
menghargai beragam warna perbedaan latar belakang peserta didik. Perbedaan
bukan lagi penghalang atau sekat untuk menyatukan keanekaragaman tapi
memperkaya identitas kelas. Guru berwawasan bhinneka akan selalu belajar memperkaya
diri dengan wawasan multikultural kebangsaan Indonesia.
Pendidikan
yang diharapkan mendukung kehadiran kelas pelangi adalah pendidikan yang mampu
membentuk manusia mandiri yang berpengetahuan dan memiliki etika serta
mempunyai keterampilan hidup yang menjadi karakter bangsa. Melalui pendidikan
karakter bangsa Indonesia akan terbentuk manusia yang tangguh dan
berkepribadian, memiliki toleransi yang tinggi menjunjung nilai kebersamaan,
serta bertanggungjawab terhadap tugas, dan kehidupan sesamanya. Untuk
mewujudkan tujuan mulia tersebut kehadiran guru humanis dengan sentuhan
karakter manusiawi dan memandang kebhinnekaan peserta didiknya sebagai sebuah kekuatan
dan keniscayaan.
Proses
pembelajaran dalam kelas pelangi dapat dilakukan dengan memodifikasi
model-model pembelajaran kooperatif empati multikultural. Model ini mengajarkan
kerjasama dan belajar berempati dengan ikut merasakan ragam perbedaan sosial
dan budaya peserta didik lainnya.
Pembelajaran dengan
sentuhan humanis dan berbhinneka dalam kelas pelangi ketika dilaksanakan
bukanlah tanpa hambatan namun dengan konsistensi dan kesungguhan hati dalam
pelaksanaannya maka lambat laun karakter peserta didik akan terbentuk dengan
belajar peduli pada lingkungan sekitar. Lebih jauh penulis berkeyakinan bila
pembelajaran dengan sentuhan humanis dan berbhinneka dalam kelas pelangi ini
terus menerus diusahakan dengan berkesinambungan maka generasi ke depan bangsa
ini adalah generasi yang guyub dan berkarakter kuat.
Daftar Pustaka
Adi
W. Gunawan. 2003. Genius Learning
Strategy: Petunjuk Praktis untuk
Menerapkan
Accelerated Learning.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Banks,
James A. 1997. Multicultural Education:
Goal and Dimensions, (Online),
Hermi
Yanzi. 2011. Pendidikan Nasional sebagai
Wahana Pembentukan
Masyarakat yang Berbhinneka, (Online), (http://staff.unila.ac.id/hermiyanzi/2011/08/10/pendidikan-nasional-sebagai-wahana-pembentukan-masyarakat-yang-berbhineka/),
diakses 26 Agustus 2011.
Samsu. 2008. Pendidikan Multikultural, (Online), (http://samsuiainjambi.blogspot.com/2008/10/pendidikan-multi-kultural-multicultural.html, diakses 1 Februari 2011).
St.
Kartono. 2009. Sekolah Bukan Pasar:
Catatan Otokritik Seorang Guru. Jakarta:
Kompas.
Syamsul Ma’arif. 2005. Pendidikan Pluralisme di Indonesia. Yogyakarta: Logung Pustaka.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
http://id.wikipedia.org/wiki/Humanisme,
diakses 25 Agustus 2011
Tidak ada komentar