Etnosentrisme
mengandung pengertian paham memandang budaya orang lain dengan ukuran budaya
sendiri. Dalam kajian antropologi sering pemaknaan etnosentrisme bertendensi negatif
yang sering dijadikan sumber permasalahan dalam proses hidup berkelompok. Lebih
jauh muncul kefanatikan terhadap kelompok yang kita ikuti. Memandang kelompok
lain dengan ukuran dan persepsi ukuran kita. Kita sering melihat beragam
konflik antar kelompok yang muncul karena permasalahan persepsi yang berbeda
menurut ukuran kita. Dari sisi lain, kadang kala kefanatikan berdampak positif
untuk menguatkan identitas kelompok. Kita bisa melihat bagaimana sebuah
kelompok sosial dapat berupa suku bangsa atau yang lebih besar lagi sebuah
bangsa dapat menjadi besar karena rasa kebanggaan yang besar pada kelompoknya. Perjalanan
sejarah sebuah bangsa menjadi besar ketika setiap unsur dalam kelompoknya
mencintai simbol-simbol dan makna yang memberi ciri khas pada kelompoknya. Kita
bisa melihat bagaimana Bali menjadi terkenal ke mancanegara karena mereka mampu
menjaga simbol-simbol etnosentrisme dalam membangun masyarakat dan budaya suku
bangsanya.
Bagaimana
etnosentrisme dalam membangun perkembangan sastra? Sastra lahir dalam sebuah
karya yang dinikmati dan mempengaruhi masyarakat memerlukan sebuah identitas
dalam karyanya. Sebuah karya sastra tanpa identitas hanya menjadi karya yang
mengalir tanpa menimbulkan sikap kesukaan atau lebih ekstremnya kefanatikan
pada karya yang dibaca. Perlu memberikan makna pada setiap karya yang telah dihasilkan
dan dinikmati oleh pembaca. Salah satu caranya dengan membuat setting atau
latar suatu kelompok masyarakat pada karyanya. Dengan hadirnya karya-karya
bernuansa lokalitas apa lantas mematikan rasa nasionalisme keindonesiaan?
Pandangan sempit bila asumsi seperti itu hadir dalam persepsi kita. Mengapa?
Perlu diingat dalam karya sastra walaupun lahir dari sebuah lokalitas, namun
nilai-nilai universal dalam sebuah karya sastra tidak akan bisa dipungkiri
sebagai sebuah nilai-nilai yang hadir dalam masyarakat manapun. Tidak berarti
ketika sastrawan Riau menulis dengan lokalitas Melayu Riau berarti
mengesampingan wawasan keindonesiaan. Sekali lagi sebuah karya yang bagus harus
punya identitas dengan mengusung simbol-simbol etnosentrisme dalam karya
sastranya.
Sastra
Riau menjadi besar dan terus berkembang serta mampu diterima oleh masyarakat
Riau karena karya yang dihasilkan mengambil latar dan segala pernak-pernik yang
berhubungan tentang Riau. Terasa dekat oleh pembaca ketika membaca karya sastra
yang dihasilkan oleh penulis Riau menulis tentang Riau. Etnosentrisme perlu
dibangun oleh penulis Riau untuk membuat identitas keRiauan yang identik dengan
Melayu. Banyak bahan galian ide yang berangkat dari kehidupan masyarakat Melayu
Riau. Simbol-simbol bahasa, budaya, tradisi, kebiasaan, dan beragam kearifan lokal
yang lain bila diramu dengan jeli akan lahir karya sastra bernuansa lokal yang
gemilang. Penulis pernah membuktikannya dengan menulis cerpen “Ketobung” yang
ditulis pada tahun 2009 memenangkan Lomba Menulis Cerpen Remaja Tingkat
Nasional oleh PT. Rohto. Cerpen ini ditulis setelah penulis membaca dan
mengkaji tentang tradisi Badewo. Dari tradisi Belian lahir sebuah cerpen yang
berjudul “Penyigi Damar” dan pernah menjadi pemenang dalam Lomba Menulis Cerpen
oleh Majalah Mahasiswa Bahana tahun 2009. Ketika Dewan Kesenian Riau mengadakan
Laman Cipta Sastra pada tahun yang sama cerpen “Numbai” yang berkisah tentang tradisi
menumbai pohon sialang. Cerpen tersebut menjadi salah satu pemenang dalam lomba
tersebut. Kembali dalam lomba cerpen
tingkat nasional banyak cerpen dari penulis daerah lain yang memenangkan lomba
yang mengangkat latar unsur etnosentrisme daerahnya. Seperti cerpen Bakulele dari
Makasar. Bekenjong dari Kalimantan Selantan, Satyam Eva Jayate dari Bali. Cerpen-cerpen
tersebut memiliki kekuatan dari sisi bertutur yang unik karena mengangkat
unsure-unsur etnosentrisme dengan mengangkat kearifan lokal.
Sastrawan
Riau sebagian besar menulis karya besarnya selalu dengan mengusung unsur-unsur
itu. Apalagi beberapa bentuk apresiasi dari pihak-pihak peduli sastra di Riau
ini mengakomodir untuk selalu mengangkat unsur kearifan lokal dengan mengusung
sisi-sisi etnosentrisme tersebut dalam persyaratan karya yang dihasilkan.
Anugerah Sagang, Ganti Award, Laman Cipta Sastra Dewan Kesenian Riau, dan
lain-lain begitu besarnya mengakomodir penulis sastra yang mengangkat unsur
lokalitas dalam karyanya. Sebuah peluang besar tentunya bagi penulis di Riau
untuk selalu memanfaatkan tradisi, budaya, bahasa, seni Melayu sebagai sumber
dalam menghasilkan karya sastra yang bermuansa lokalitas yang kental.
Penulis:
Bambang Kariyawan Ys.
Guru SMA Cendana Pekanbaru
Tidak ada komentar